Senin, 11 Mei 2009

Artikel Opini dan Pojok

Artikel Opini


"Pendidikan Indonesia Memprihatinkan"

Sistem pendidikan saat ini seperti lingkaran setan. Jika ada yang mengatakan bahwa tidak perlu UN (Ujian Negara ) karena yang mengetahui karakteristik siswa di sekolah adalah guru. Pernyataan tersebut betul sekali, namun pada kenyataannya di lapangan, sering kali saya lihat nilai rapor yang dimanipulasi, jarang bahkan mungkin tidak ada guru yang tidak memanipulasi nilainya dengan berbagai macam alasan. Kasihan siswanya, supaya terlihat guru tersebut berhasil dalam mengajar, karena tidak boleh ada nilai 4 atau 5 di rapor dan lain sebagainya.

Mengapa guru bersikap demikian, mengapa nilai siswa-siswa banyak yang belum tuntas, salahkah guru? Jawabannya bisa ya bisa tidak. Bisa ya karena mungkin guru tersebut tidak memiliki kompetensi mengajar yang memadai. Bisa tidak, karena sistem pendidikan Indonesia mengharuskan siswa mempelajari bidang studi yang terlalu banyak. Rata-rata bidang studi yang harus mereka pelajari selama satu tahun pelajaran adalah 16 bidang studi, dengan materi untuk tiap bidang studi juga banyak, dan tidak sesuai dengan kebutuhan siswa.

Terus terang dalam hal ini saya lebih senang menyalahkan sistem pendidikan Indonesia. Sistem pendidikan kita terlalu memaksa anak untuk dapat menguasai sekian banyak bidang studi dengan materi yang sedemikian banyak, yang selanjutnya membuat anak merasa tertekan/stress yang dampaknya membuat mereka suka bolos, bosan sekolah, tawuran, mencontek, dan lain-lain. Yang pada akhirnya mereka tidak dapat mengerjakan ujian dengan baik, nilai mereka kurang padahal sudah dilakukan remedi, dan supaya dianggap bisa mengajar atau karena tidak boleh ada nilai kurang atau karena kasihan beban pelajaran siswa terlalu banyak, kemudian guru melakukan manipulasi nilai rapor. Nilai rapor inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk memperoleh beasiswa atau melanjutkan kuliah atau ikut PMDK dan lain sebagainya. Tahukah siswa akan kenyataan pahit ini? Lalu apakah UN solusi untuk melihat kemampuan siswa? Bukan, karena UN tidak adil, bahwa kemampuan siswa tidak dapat distandarisasi.


Saya yakin Allah menciptakan manusia tidak ada yang bodoh, yang ada adalah kita terlambat mengetahui kecenderungan kompetensi mereka. Dari kecil mereka sudah dikondisikan kalau tidak boleh dibilang dipaksa, untuk melakukan atau mempelajari sesuatu yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan psikologi mereka.


Kembali lagi dengan masalah UN, kompetensi manusia tidak bisa distandarisasi dan dirangking, semua memiliki kelebihan dan kekurangan. Kalaupun mau dipaksakan ada standarisasi, sistem pendidikan Indonesia diperbaiki terlebih dahulu, standarisasi dikenakan pada kelompok yang memiliki kompetensi dasar sama, itu baru adil.


Sesungguhnya banyak sekali pemerhati pendidikan di Indonesia yang sudah menyadari hal ini, banyak sekali tulisan-tulisan mereka, baik pada artikel-artikel pendidikan, bahkan buku-buku pendidikan. Namun pemerintah seolah menutup mata akan ide-ide cemerlang mereka. Sistem pendidikan kita adalah alat pemuas kebutuhan pemerintah, dan orang tua, bukan sistem yang dibuat sesuai kebutuhan siswa. Siswa secara tidak sadar dibelenggu oleh pemikiran-pemikiran yang ditanamkan orang tua dan pemerintah bahkan guru, padahal mereka manusia merdeka yang bebas menentukan nasibnya sendiri.

Beberapa tahun terakhir ini, beberapa teman mulai menerapkan home schooling pada anak-anak mereka. Seorang teman melakukannya karena permintaan putranya yang berusia 14 tahun, karena si anak merasa sekolah membosankan, menghabiskan waktu dan tidak dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang ada di benaknya. Tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkannya, oleh karenanya dia memutuskan untuk tidak bersekolah. Dia lebih tertarik tenggelam dalam buku-buku bacaannya. Bersyukurlah si anak karena dia memiliki orang tua yang bisa mengerti bahwa sekolah bukan satu-satunya jalan untuk mencerdaskan anaknya.


Ternyata banyak pilihan yang bisa dilakukan oleh seorang siswa, terlepas apakah orang tua bisa mengerti ataupun tidak keinginan putra-putrinya. Tidak bersekolah memang keputusan yang sangat berat, berbagai macam keberatan akan muncul, bagaimana dengan diskusi, bagaimana dengan penyamaan persepsi terhadap suatu permasalahan. Jika tidak bersekolah, bagaimana dapat menemukan lingkungan yang kondusif untuk belajar, atau yang lebih umum, karena bangsa kita adalah bangsa yang gila,gengsi dan gelar,bagaimana dengan pekerjaan, jika tidak punya gelar.

Jika memang tetap sekolah yang akan dijadikan satu-satunya alat untuk mencerdaskan seseorang, maka sistem pendidikan Indonesia harus diubah. Tidak boleh memaksakan siswa, kurikulum disesuaikan dengan kompetensi dasar masing-masing siswa. Bidang studi yang diajarkan tidak terlalu banyak dan materi untuk tiap bidang studi disesuaikan dengan perkembangan siswa. (unsur-unsur) seperti fasilitas pendidikan dan kesejahteraan guru mestinya ikut ditingkatkan. Subsidi pendidikan diperbesar, pungutan dan pemotongan dana dan lain-lain dihapuskan.

Bagi siswa yang berani mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, yang menyadari bahwa UN bukan segala-galanya, yang menyadari bahwa belajar bisa dimana saja sesuai dengan keinginan, minat dan kebutuhannya, salut buat mereka. Percayalah gelar bukan jaminan keberhasilan seseorang,banyak sarjana menganggur, belum menyadari apa keinginan dan minat mereka, karena selama ini disadari atau tidak mereka telah dijadikan robot sistem pendidikan Indonesia.

POJOK


"Mencoblos kok jadi Mencontreng"

Dalam kamus bahasa Indonesia kata mencontreng itu tidak ada,tapi klo mencoblos dalam kamus bahasa Indonesia ada,apa pemerintah sekarang ingin membodohi rakyatnya ??




NAMA : DEBBY EKA SAMPITRI
NIM : 153070374

Tidak ada komentar:

Posting Komentar